Minggu, 02 Januari 2011

‘Kenikmatan’ dan ‘Kepuasan’ Seks, Serupa Tapi Tak Sama

Kenikmatan’ dan ‘kepuasan seks’ seringkali dianggap sama bagi sebagian orang. Padahal sebenarnya, dua hal tersebut memiliki arti yang berbeda.
Kepuasan seks itu ‘wajib’ dimiliki laki-laki dan perempuan, karena keduanya sama-sama mempunyai ‘hak’ untuk itu. Sikap pura-pura orgasme sangatlah merugikan, sementara kepuasan sejati tidak didapatkan selama berhubungan seks dengan pasangan.
Sementara, faking orgasm alias ‘orgasme palsu’ atau pura-pura orgasme, seringkali dilakukan oleh banyak orang demi menyenangkan pasangan semata. Padahal, ‘orgasme palsu’ gampang sekali terbaca. Orang yang mengalami orgasme gampang dikenali, antara lain badan mengejang selama beberapa detik dan mengeluarkan ’suara-suara erotis atau erangan’ yang jauh dari kesan pura-pura.
Tanda-tanda lain perempuan mencapai kepuasan adalah payudara mengeras, lubrikasi di organ genital, vagina berwarna merah kebiru-biruan akibat rangsangan dari pasangan. Dan untuk mencapai kepuasan maksimal, maka pemanasan adalah salah satu sarana untuk menuntun perempuan mencapai orgasme.
Jadi apa bedanya kenikmatan dan kepuasan seks?
Kepuasan seks melibatkan dua orang yang saling ‘bekerja sama’. Berbeda dengan kenikmatan. Dengan masturbasi orang mendapat kenikmatan, namun belum tentu mencapai kepuasan. Jika hanya ingin orgasme saja bisa dilakukan sendiri lewat alat bantu atau menggunakan ketrampilan tangan dan bisa dilakukan sendiri. Namun belum tentu salah satu pasangan puas.
Kenikmatan (pleasure) dan kepuasan (satisfaction) adalah dua hal yang beda. Jika seseorang mencapai kepuasan, sudah pasti dia mengalami kenikmatan, namun tidak bisa berlaku sebaliknya.
Untuk mencapai kepuasan, banyak faktor psikologis terlibat. Tidak hanya kenikmatan yang dikelola, namun juga kualitas hidup, termasuk mengelola organ genital. Sebuah penelitian di AS pada 2004 menyatakan bahwa kehidupan seks yang memuaskan membuat seseorang lebih percaya diri dan optimis menghadapi hidup.
Jika seseorang kehidupan seksualnya bermasalah, sekitar 90% aspek psikologisnya terganggu, namun tidak berlaku sebaliknya. Dan kebanyakan, masalah yang dihadapi oleh pasangan adalah berkaitan dengan tiga hal, yaitu keuangan, keluarga inti dan keluarga besar, serta masalah seksual.
Misalkan jika ada seorang laki-laki yang mengeluhkan sakit kepala berat, migrain, namun ternyata dokter tidak menemukan penyakitnya. Dan setelah disarankan untuk mendatangi psikolog, laki-laki tersebut diketahui mengalami masalah seksual dengan pasangannya. Saat masalah seksual ini teratasi, berbagai keluhan sakit itu pun lambat laun juga menghilang.
Biasanya, seorang yang bermasalah dengan kehidupan seksualnya dikarenakan ia mengabaikan kebutuhan seksual pasangannya. Padahal, perempuan juga butuh dipuaskan. Sementara si perempuan enggan ‘menuntut’ pasangan laki-lakinya untuk memuaskannya, dengan dalih kasihan karena sudah bekerja keras seharian.
Jadi, bagaimana solusinya?
Komunikasi secara terbuka antar pribadi dalam pasangan tersebut memegang peranan penting dan tentunya dilakukan dalam kondisi yang memungkinkan untuk bicara. Faking orgasm tidak akan berhasil. Jika berlarut-larut dan dibiarkan malah akan membahayakan hubungan pasangan itu sendiri. (kapanlagi.com)